RefleksiNJ45: Pola Hidup
NJ45#11: Marwah Daud Ibrahim
Jon Jandai, berbagi pengalaman menarik. Terbuai oleh cerita dari media ia meninggalkan desanya di Thailand dan pindah ke Bangkok. Di ibukota, ia bekerja 8 jam sehari, tinggal di kamar kecil dengan banyak orang.
Ia juga kuliah di Universitas. Tapi ia merasa ada yang kurang tepat. Kok universitas mengajarkan banyak hal yg destruktif. Misalnya, membangun dengan merusak alam, bertani dengan meracuni air dan lahan.
Ia kemudian membandingkan hidupnya yang rumit di kota dengan kehidupan yang simpel ketika di desa.
Mengapa membuat hidup jadi rumit? Mengapa harus bekerja 8 jam sehari untuk beli makanan, kredit rumah 30 tahun, berpakaian ikut mode. Berobat harus mahal. Padahal di desa cukup bekerja 2 bulan dan selebihnya bisa panen dan memakai waktu untuk festival.
Dia berubah haluan, memutuskan meninggalkan Bangkok dan kembali ke desa.
Hidup itu simpel.
Kebutuhan makan? Dengan keluarga terdiri dari 6 orang ia bertani padi dan bisa menghasilkan 6 ton beras, jauh melampaui kebutuhannya. Mempunyai kolam sehingga bisa makan ikan tiap hari. Menanam 30 jenis sayur mayur yang bukan hanya cukup untuk keluarga tapi bisa berbagi dgn yang lain.
Kebutuhan Papan atau rumah? Ia membangun sendiri rumahnya. Bahkan bisa buat beberapa rumah. Dengan murah, dan tak perlu membayar cicilan 30 tahun.
Pakain? Cukup yang sederhana. Bahkan tak perlu beli. Pengunjung banyak memberikan pakaian yg bahkan dibagikan kepada orang lain.
Bagaimana kalau sakit? Penyakit menurutnya adalah pegingat bahwa kita melakukan hal salah terhadap diri kita. Kesempatan mengoreksi diri. Dan ia mengobati penyakitnya dengan memakai air dan tumbuhan sebagai obat.
**
Apa yang kita pelajari dari pilihan hidup Jon untuk kita di Indonesia?
Kapitalisme boleh jadi memang telah merasuki kita. Iklan menjadi salah satu sarananya. Minum harus Aqua dan Coca-Cola, Rumah yang keren itu di Meikarta, Pakaian harus bermerek, dan berobat harus di Siloam, dan kalau meninggal dikebumikan di Sandiago Hill.
Daya tarik (full) kota untuk urbanisasi, dan daya dorong (push) untuk tinggalkan desa sangat besar. Jadilah kota-kota di Indonesia overpopulasi, jalanan macet. Sebaliknya desa ditinggal merana.
Lalu bagaimana gambaran Indonesia tahun 2045? Masa depan adalah hari ini. Tergantung keputusan kita hari ini. Kita bisa membuat anak keturunan kita berkerumun di kota.
Atau menyebar sampai bagian terjauh negeri ini.
***
Sudah saatnya kita menyebarkan pola pikir “Cinta Desa.” Acara TV jangan dominan hiburan hedonistis. Tapi berisi contoh dan motivasi untuk hidup di desa.
Berhenti memanjakan orang kota. Macet, dibuatkan jalan layang. Masih macet dibuatkan jalan lingkar. Masih macet dibuatkan terowongan. Masih macet dibuatkan busway.. dst..dst.
Dana yang berputar di Jakarta dan di kota kirim untuk membuka akses kepada rakyat untuk mau dan bisa tinggal di desa. Bangun jalan desa, beri sumber air, beri hak pakai lahan kepada rakyat.
Buat pemetaan lahan tidur yang bisa dipakai untuk rakyat bisa hidup dan berusaha. Moratorium pemberian izin lahan untuk Konglomerat. Berikan hak pakai kepada rakyat untuk membangun komunitas dan komoditas berbasis unggulan desa. Buka akses untuk modal kerja untuk hidup sederhana dan simpel.
Saya yakin berbondong anak muda akan menyebar ke desa. Mengolah karunia Tuhan YME yang tersebar di setiap jengkal negeri ini.
Jadi seperti kata Jon Jandai: “Hidup sederhana kok. Mengapa membuat nya sudah.”
Lagi pula kita semua hidup di Desa Global. Buktinya ia tinggal di desa tapi menginspirasi jutaan orang melalui TEDx yang disebar oleh YouTube dan beragam medsos ke seluruh dunia.
Jon Jandai bahkan membuat _Pun Pun Center for Self Reliance_ dan buat website. Banyak yang datang belajar ke sana tentang pembenihan dan budi daya tanaman, bangunan alami, teknologi tepat guna. Dan tentu saja prinsip hidup sederhana, simpel dan bahagia.
Sobat NJ45 minat ke sana? Saya berminat.
Salam NJ45. Selamat memasuki tahun baru Hijriah.
Waru. 21 September 2017/ 1 Muharram 1439 H. 15:13
#NasiRawonNJ45

Tidak ada komentar:
Posting Komentar